Thursday, April 28, 2011

Perkebunan Warisan Hindia Belanda di Ekowisata Pangalengan


PANGALENGAN adalah kota kecil sekitar 45 km dari Bandung ke arah selatan yang berhawa sejuk dan kaya dengan keindahan alam. Pangalengan terkenal penghasil aneka sayuran hijau yang dikirim ke beberapa kota di Indonesia.

Kota yang terkenal sebagai daerah pertanian, peternakan serta perkebunan teh dan kina yang dikelola oleh PTPN dan daerah penghasil Susu Sapi. Di wilayah ini banyak sekali industri-industri yang mengolah Susu Sapi menjadi produk-produk makanan seperti permen susu atau sering disebut caramel, kerupuk susu, dodol susu, tahu susu, dan noga susu.

Perjalanan Anda menuju Pangalengan akan menjadi pengalaman yang sungguh menyenangkan karena akan disuguhkan banyak pesona wisata di antaranya wisata perkebunan, danau, hutan serta petualangan rafting. Semuanya cocok untuk melepaskan ketegangan dan menyegarkan kembali pikiran Anda.

Pangalengan menjadi salah satu lokasi ekowisata yang sedang dikembangkan Pemerintah Kabupaten Bandung untuk menjadi daerah tujuan wisata andalan melalui program sadar wisata. Pangalengan terkenal berhawa dingin dan penghasil susu. Di tempat ini ada banyak tempat wisata yang menarik seperti panorama kebun teh, hutan pinus, dan kebun sayur yang menjadi pemandangan khas di ketinggian 1.000-1.400 meter di atas permukaan laut ini.

Kota kecil memiliki sejuta pesona alam yang Indah. Di sini Anda dapat menemukan banyak tempat wisata seperti Situ Cileunca, Malabar, Pemandian air panas Cibolang, perkebunan teh, dan banyak lagi tempat wisata lainnya.

Menjelajahi alam di Pangalengan bisa Anda lakukan dalam satu kawasan yang sangat berdekatan, saling terpadu, dan berhubungan antara wisata petualangan alam dengan atraksi menarik seperti outbound, paintball, flying fox, dan kegiatan lainnya. Jadi, Anda tak perlu membuang waktu, tenaga, juga anggaran akan lebih bersahabat. (uky)


Sumber :

Pasha Ernowo - Okezone

http://travel.okezone.com/read/2011/03/25/408/439011/perkebunan-warisan-hindia-belanda-di-ekowisata-pangalengan

26 Maret 2011



Sumber Gambar:
http://fc07.deviantart.com/fs22/f/2008/008/8/9/pangalengan_bandung_part_2_by_hellohelmy.jpg

National Parks Indonesia

Kemungkinan Meningkatkan Ekowisata

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanegaraman hayati yang sangat tinggi yang berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di daratan, udara maupun di perairan. Semua potensi tersebut mempunyai peranan yang sangat penting bagi pengembangan kepariwisataan, khususnya wisata alam.

Potensi Obyek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) yang dimiliki Indonesia, antara lain berupa keanekaragaman hayati, keunikan dan keaslian budaya tradisional, keindahan bentang alam, gejala alam, peninggalan sejarah/budaya yang secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat.

Keseluruhan potensi ODTWA tersebut di atas merupakan sumber daya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus merupakan media pendidikan dan pelestarian lingkungan.

Sasaran tersebut di atas dapat tercapai melalui pengelolaan dan pengusahaan yang benar dan terkoordinasi, baik lintas sektoral maupun swasta yang berkaitan dengan pengembangan kegiatan pariwisata alam, misalnya kepariwisataan, biro perjalanan, pemerintah daerah, lingkungan hidup, dan lembaga swadaya masyarakat.

Dalam pengembangan kegiatan pariwisata alam terdapat dampak positif dan dampak negatif, baik dalam masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan alami.

Dampak positifnya antara lain menambah sumber penghasilan dan devisa negara, menyediakan kesempatan kerja dan usaha, mendorong perkembangan usaha-usaha baru, dan diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat/wisatawan tentang konservasi sumber daya alam. Dampak positif tersebut perlu ditingkatkan.

Dampak negatifnya antara lain gangguan terhadap ODTWA (erosi dan vandalisme), dan munculnya kesenjangan sosial. Dampak negatif ini perlu mendapatkan perhatian dan ditanggulangi secara bersama antara pihak terkait.

Upaya-upaya promosi perlu dikembangkan lebih lanjut melalui berbagai media oleh instansi pusat, daerah maupun swasta.


II. KEBIJAKSANAAN PENGEMBANGAN OBYEK WISATA ALAM

1. Beberapa Peraturan Perundangan yang telah disusun untuk menunjang pengembangan kegiatan pariwisata alam dan upaya konservasi antara lain:

UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan;

PP No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam;

Keputusan Menhut No. 441/Kpts-II/1994 tentang Sarana Prasarana Pengusahaan Pariwisataan Alam;

Keputusan Menhut No. 441/Kpts-II/1990 tentang Pengenaan Iuran Pungutan Usaha di Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Laut;

Keputusan Menhut No. 446/Kpts-II/1996 tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam;

Keputusan Menhut No. 878/Kpts-II/1992 tentang Tarif Pungutan Masuk ke Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Laut;

Keputusan Menhut No. 447/Kpts-II/1996 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pengusahaan Pariwisata Alam.

2. Kegiatan pengusahaan pariwisata alam di kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya) tidak termasuk dalam daftar bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal. Perlu diketahui bahwa yang diperkenankan untuk membuka usaha di bidang pengusahaan pariwisata alam ialah perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dan berlokasi di Indonesia. Namun demikian, pernyataan tersebut tidak berarti bahwa usaha ini tertutup bagi modal asing. Pembelian saham oleh warga negara asing dimungkinkan.

3. Dalam kaitannya dengan butir 2 tersebut di atas, kita masih dituntut untuk teliti dalam memilah kegiatan-kegiatan apa yang boleh ditangani oleh tenaga asing. Sebagai contoh, tour operator sebaiknya tidak diserahkan kepada pihak luar karena merupakan kegiatan strategis yang perlu kita tangani sendiri.

4. Dalam pembangunan sarana-prasarana pariwisata alam di kawasan pelestarian alam, beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:

Sarana-prasarana dibangun di zona/blok pemanfaatan dan tidak lebih dari 10% dari zona/blok tersebut.

Tidak merubah bentang alam.

Menggunakan arsitektur setempat.

Tinggi bangunan tidak melebihi tinggi tajuk.


III. STRATEGI PENGEMBANGAN OBYEK WISATA ALAM

1. Pengembangan ODTWA sangat erat kaitannya dengan peningkatan produktifitas sumber daya hutan dalam konteks pembangunan ekonomi regional maupun nasional, sehingga selalu dihadapkan pada kondisi interaksi berbagai kepentingan yang melibatkan aspek kawasan hutan, pemerintah, aspek masyarakat, dan pihak swasta di dalam suatu sistem tata ruang wilayah.

2. Kendala pengembangan ODTWA berkaitan erat dengan :

Instrumen kebijaksanaan dalam pemanfaatan dan pengembangan fungsi kawasan untuk mendukung potensi ODTWA.

Efektifitas fungsi dan peran ODTWA ditinjau dari aspek koordinasi instansi terkait.

Kapasitas institusi dan kemampuan SDM dalam pengelolaan ODTWA di kawasan hutan.

Mekanisme peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata alam.

3. Strategi pengembangan ODTWA meliputi pengembangan :

Aspek Perencanaan Pembangunan ODTWA yang antara lain mencakup sistem perencanaan kawasan, penataan ruang (tata ruang wilayah), standarisasi, identifikasi potensi, koordinasi lintas sektoral, pendanaan, dan sistem informasi ODTWA.

Aspek Kelembagaan meliputi pemanfaatan dan peningkatan kapasitas institusi, sebagai mekanisme yang dapat mengatur berbagai kepentingan, secara operasional merupakan organisasi dengan SDM dan PP yang sesuai dan memiliki efisiensi tinggi.

Aspek Sarana dan Prasarana yang memiliki dua sisi kepentingan, yaitu (1) alat memenuhi kebutuhan pariwisata alam, (2) sebagai pengendalian dalam rangka memelihara keseimbangan lingkungan, pembangunan sarana dan prasarana dapat meningkatkan daya dukung sehingga upaya pemanfaatan dapat dilakukan secara optimal.

Aspek Pengelolaan, yaitu dengan mengembangkan profesionalisme dan pola pengelolaan ODTWA yang siap mendukung kegiatan pariwisata alam dan mampu memanfaatkan potensi ODTWA secara lestari.

Aspek Pengusahaan yang memberi kesempatan dan mengatur pemanfaatan ODTWA untuk tujuan pariwisata yang bersifat komersial kepada pihak ketiga dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat.

Aspek Pemasaran dengan mempergunakan teknologi tinggi dan bekerja sama dengan berbagai pihak baik dalam negeri maupun luar negeri.

Aspek Peran Serta Masyarakat melalui kesempatan-kesempatan usaha sehingga ikut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Aspek Penelitian dan Pengembangan yang meliputi aspek fisik lingkungan, dan sosial ekonomi dari ODTWA. Diharapkan nantinya mampu menyediakan informasi bagi pengembangan dan pembangunan kawasan, kebijaksanaan dan arahan pemanfaatan ODTWA.

4. Dalam rangka menemukenali dan mengembangkan ODTWA perlu segera dilaksanakan inventarisasi terhadap potensi nasional ODTWA secara bertahap sesuai prioritas dengan memperhatikan nilai keunggulan saing dan keunggulan banding, kekhasan obyek, kebijaksanaan pengembangan serta ketersediaan dana dan tenaga.

5. Potensi Nasional ODTWA yang sudah ditemukenali segera diinformasikan dan dipromosikan kepada calon penanam modal.

6. Dalam rangka optimalisasi fungsi ODTWA perlu diupayakan pengembangan pendidikan konservasi melalui pengembangan sistem interprestasi ODTWA dan kerjasama dengan instansi terkait termasuk lembaga-lembaga pendidikan, penelitian, penerangan masyarakat, dan lain-lain.

7. Perlu dikembangkan sistem kemitraan dengan pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat yang ada, dalam rangka mendukung optimalisasi pengembangan ODTWA.

8. Pengembangan ODTWA merupakan sub-sistem dari pengembangan pariwisata daerah dan pengembangan wilayah pada umumnya yang secara langsung maupun tidak langsung memberi manfaat lebih bagi masyarakat setempat.

Pemerintah Daerah berkewajiban melaksanakan koordinasi, perencanaan, pelaksanaan serta monitoring pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam.


Sumber :

http://www.dephut.go.id/informasi/phpa/ewisata.htm

Ekoswisata Berbasis Masyarakat

Sekilas Ekowisata berbasis masyarakat dan definisi

Environmentally responsible travel and visits to relatively undisturbed natural areas, in order to enjoy and appreciate nature (and any accompanying cultural features, both past and present), that promote conservation, has low visitor impact, and provides for beneficially active socio-economic involvement of local population (Ceballos-Luscurain, 1996).


Ekowisata

Istilah “ekowisata” dapat diartikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di mana pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam.

Para pelaku dan pakar di bidang ekowisata sepakat untuk menekankan bahwa pola ekowisata sebaiknya meminimalkan dampak yang negatif terhadap linkungan dan budaya setempat dan mampu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat setempat dan nilai konservasi.

Beberapa aspek kunci dalam ekowisata adalah:

1. Jumlah pengunjung terbatas atau diatur supaya sesuai dengan daya dukung
lingkungan dan sosial-budaya masyarakat (vs mass tourism)
2. Pola wisata ramah lingkungan (nilai konservasi)
3. Pola wisata ramah budaya dan adat setempat (nilai edukasi dan wisata)
4. Membantu secara langsung perekonomian masyarakat lokal (nilai ekonomi)
5. Modal awal yang diperlukan untuk infrastruktur tidak besar (nilai partisipasi
masyarakat dan ekonomi).


Ekowisata berbasis masyarakat (community-based ecotourism)

Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh.

Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menit ikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola.

Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay; menjual kerajinan, dll. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata.

Dengan adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas, masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing.

Beberapa aspek kunci dalam ekowisata berbasis masyarakat adalah:

1. Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat (nilai partisipasi masyarakat dan edukasi)

2. Prinsip local ownership (=pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan pra-sarana ekowisata, kawasan ekowisata, dll (nilai partisipasi masyarakat)

3. Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata (nilai

ekonomi dan edukasi)

4. Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat)

5. Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan obyek wisata menjadi tanggungjawab
masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (=fee) untuk wisatawan (nilai
ekonomi dan wisata).

Sumber :
http://assets.wwfid.panda.org/downloads/wwf_indonesia_prinsip_dan_kriteria_ecotourism_jan_2009.pdf